Puisi-Puisi MERCY INDIANA
Teman-teman seangkatan di kampus ada yang memanggilnya Indi, ada pula yang menyapanya Mercyndi. Pelukis yang karyanya menjadi gambar cover kumpulan puisi ini pernah bekerja di majalah dan lama berkecimpung di advertising agency sebagai penulis naskah iklan. Setelah pensiun Mercy Indiana lebih banyak menekuni hobi melukis, selain produktif menulis puisi.
Ingatan
asa terbang sudah.
berkelana kemana ntah…
sisa jejak yang masih tertinggal
menyisakan wangi pagoda
dalam sayup ingatan hidup
menyiratkan tali karma:
pertemuan yang tidak sempurna.
Mencari Jejak
jalan panjang yang berbelok
diantara tandus tanah kering
dan keriuhan yang memanja mata
tak ada selarik ingatan juga degup lama
tapi ketika kaki sampai ditempatnya
semua terpaku lagi
terpana dalam tanya
pergi ke roda kehidupan silam
mencari sisa yang pernah tergenggam
yang mungkin telah hilang
terkubur episode lain kehidupan.
Lepas
sebuah pertemuan yang nyaris
hati yang bertaut
sayat langit yang putus
mengalir sungai airmata
saat dia berbalik :
tak ada janji yang diingat
setelahnya hanya bisa diraba
initah yang pernah dijumpa
di bawah wangi pagoda.
Pertemuan
di balik tatap yang tajam
kernyit penuh tanya
bak magnit
mengikuti langkah
membuka pintu
menghanyut lewat perahu
rindu yang menggelayut
memberat di ujung hari
meninggalkan percikan cerita
dari kata yang tak pernah terucap.
Misteri Rasa
pada siapa yang pernah bertemu
dalam pinggan wangi pagi
bentuk yang terhirup dari gelas sunyi
di rahasia meja yang tak terungkap
di menu tertulis garis hidup
kau datang diantara sayup angin
menelusup ke relung jauh
meninggalkan semerbak yang tak kunjung usai
di denting genta ayutthaya.
Chaopraya
denyut yang diam
gelombang tak bersuara
tak ada atraksi karma
kesemuan yang meraja
direlatif teka-teki semesta
o, hampa.
digemuruh arus deras menyentak
papan perahu berderak derak…
menyusuri panjang sungai chao praya
tak ada suara.
tak juga kulihat wajahnya di langit terang
nyata mungkin hanya sebuah paragraf
pengisi lembar jalan kehidupan
sinkronisasi atau puzzle
yang terbalut misteri di kungkung
negeri ayutthaya.
Doa
di depan sang buddha
dupa dan bunga
juga nyanyian dan gemerincing
kaki penari
berhembus banyak pinta
melayang tinggi
ke langit
kosong…
hilang…wajahnya
justru di tanah
tempat kakinya berpijak.
Wat Indrawihan
lima kepak sayap kecil
terbang menuju awan
riang menggapai bintang
di depan sang Buddha
pesan yang sayup
mereka tinggalkan
lirih tenggelam
terbawa angin siang
di wat indrawihan.
Napak Tilas
sebaris cerita
keberanian sekaligus harapan
tertulis lembut
di lembar catatan
baan sabai khao san
tinta hidup yang silam
tertinggal di belakang
wat chana songkram!
sudah jauh melangkah
dalam rintik hujan berselimut mendung
pematang sawah
Duon Muang yang senyap
sendiri dalam ketidaktauan
tiba tiba sudah sampai
di depan Wat Yai Chai Mongkhon
bersimpuh di reclining buddha
serasa meniti dalam cerita silam
meraba….warna
juga nuansa
kenangan yang musnah
mencoba dirasa
namun tak mungkin
ditemukan lagi.
————————————————-
Silam
kucari kenangan di bawah tangga
Wat Mongkhon Bophit
senyap dan berdebu…
hilang rasa
hilang rupa
kupungut satu satunya ingatan
di bawah pohon boddhi
yang menghilang
bersama waktu yang pergi.
Sendiri
di ujung malam
di bawah langit yang gelisah
berhembus di antara kisi jendela
energi yang tidak dikenal
meradang rupa
menerka nerka
mungkin abu yang terbawa
dari sungai chao praya
bila harumnya sampai
di kelopak kamboja
di cangkir teh pagi
kala embun mengintip
berkilau cahaya
dialah detik
burung kecil
yang mengantar tanda
dari depan wat panan cheung.
Amstelveen.
Cuaca akan makin buruk
begitu kata laporan meteorologi di televisi.
Malam itu kita harus
meluncur ke Amstelveen
sebelum esoknya kita kembali pulang.
Di rumah yang asing
kita hampir pingsan ketakutan
Secangkir teh hangat wangi
mengantar kita ke peraduan.
Dipagi yang cepat datang
kita terbangun oleh salju yang turun di halaman
Dari kaca jendelah kita lihat
sungai kecil sudah putih membeku di depan
Dan saat jari menyentuhnya
Ada sesuatu yang bergetar dalam…
Di ujung perjalanan yang nyaris kelabu
tiba-tiba kita temui ‘salju’ yang dulu
pernah kita rindu.
Fat Kee
Angin malam dingin menggigit
berjubel kita dalam kendara
Celoteh dan tawa menghambur
menghalau gigil di luar sana.
Meluncur kita di atas tol sepi
Lampu jalan pun enggan berekspresi
Saat itu kucoba mereka-reka
dan mendengar lirih suara,
tapi sia-sia.
Di Fat Kee kita berhenti
Kau memesan cah kangkung
dan segelas orange juice
temaram lampu tiba-tiba
menyibakan tabir rahasia
Mereka menangkap cahaya
yang menerobos menerangi
sekitar kita.
Kalau saja engkau tahu
Warna merah taplak meja
luntur di wajahku
Kalau saja engkau dengar
suara bertalu-talu gundah memukul hatiku
Tapi ah…betapa dingin cuaca saat itu
Mungkin juga telah membekukan
hatimu jauh kala kita baru bertemu.
Pergi
tak ada yg perlu digenggam
dalam kesementaraan
dan burung kecil itu pun
terbang
cicit cuitnya riang
walau dia sudah menghilang
dari pandangan.
Pyrenees Belleville
Metro nomor sebelas jurusan Marie de Lilas belum juga tampak.
menunggu di tengah keterasingan telah jadi biasa di
Paris yang hingar bingar.
Bangunan rococo, museum Louvre, bangku taman Tuileries,
trotoar Champ Elysees atau secangkir kopi hangat
di café seberang Lafayette adalah sepenggal ingatan
akan sisi kota ini.
Udara dingin mengigit, namun matahari cerah berpijar
Sebentar lagi kita sampai di Trocadero: ada Eifel yang indah,
pun bianglala yang menjulang di lengkung langit.
Ah, roda metro terus bergulir…
Stasiun Rambuteau, Chatelet, Hotel de Ville, Republique,
terus saja berlalu…
Dari kaca jendela hanya tampak asa yang hilang…
Bayang yang berlari sendirian…
Paris mungkin tak lagi seperti dulu
Ia kini begitu sarat sunyi dan luka.
Bunyi gerendel pintu
tiba-tiba menghentak menyadarkan bahwa kita
harus turun di Pyrenees Belleville,
stasiun terakhir tempat kita pulang
ke rumah yang kusam.
Reading
Stasiun kota kecil ini
tak lagi asing
Dilempar ketidakpastian
platform kereta juga jadi biasa
kecuali kopi pahitnya
yang tak pernah bisa tertelan
apalagi menghangatkan
jiwa yang kedinginan.
Tuileries Park
Hujan baru saja turun
mempermainkan rencana
kita hari itu di samping
istana Louvre.
Saat kita menyebrang jalan
kita temukan
Jardin de Tuileries
Jajaran pohon
kursi taman
kolam
unggas putih berenang
bayang menara Eifel
sepasang kekasih…
sinar matahari
adalah detak jantung
yang menghangati
taman Tuileries
yang pias dan beku…
Bayang
Mengapa sulit mencari wajahmu di tumpukan hari.
Melulu hanya angin dari jauh yang berdesir…
Membawa nyanyian lirih dan gambar buram.
Kuingin menepisnya, tapi angin itu selalu membawanya kembali.
Hujan
Tangan-tangan hujan menari memulai hari
Daun-daun berjatuhan
Kabut menghalangi jalan
Aku terperangkap dalam butir-butir air yang mengembun.
Samar di depan
Hanya meraba lewat kaki hari
Namun begitu, baru kutahu
tak selalu mendung itu kelabu
Ikuti saja semesta membawa
Lalu aku pun mendengar
nyanyian hujan memenuhi udara.
Bujuk
Memasuki sebuah dunia yang asing
Dan sungguh tak terbayangkan
Cap yang melekat begitu gulita
Tak ada perlawanan sama sekali
Dorongan apa yang telah menuntun
ke sini?
Degup yang tak terbaca dan …
sepertinya baginya sudah jadi biasa
Di sini pun terbawa ritme
Meraba dan menebak dalam ketidaktahuan
Seperti boneka yang ditarik tali
Ada sensasi
Gelegak
Pacu
Deru
Sesuatu yang bukan semata teori
Semua bercampur aduk dalam rasa yang tak teridentifikasi
Sebuah Episode.
Dan hari ini
Mengapa tanya baru muncul
Apa yang telah terjadi?
Sebuah episode yang merobohkan gunung es
Menghancurkan paradigma berkarat
Kini pun masih juga belum melihat
Mana yang sebenarnya?
Dan mana yang atas nama pembenaran?
Ke mana aku yang dalam buku?
Ke mana aku yang tinggal di angkasa angan?
Akhirnya semua runtuh dalam kenyataan
Ditarik keluar oleh waktu
Terjun bebas
Merasakan dentuman dahsyat
Pecah berkeping
Dan berjelaga..
Hidup menjadi manusia dengan
kaki menjejak bumi.
Sampah
Hari ini adalah nyata
Malas bertanya lagi
Malas menganalisa
Jalan saja mengikuti titah semesta
Tak ada yang dituju
Tak tahu harus ke mana
Nikmati saja
Anggap sebuah pemberhentian
dengan suguhan yang lain
Meneguk rasa dengan ikhlas
tanpa harus ada kesal dan sesal
Tak usah lagi berpikir tentang
kenaivan
kebodohan
Terima saja sebuah pengalaman
ntah berharga, ntah hanya sampah belaka
Karena mungkin semua memang sudah waktunya.
Sarang
Aku punya sarang yang hangat
Kubangun puluhan tahun
dengan keringat dan cinta
Kutanam semua yang ada di sana
dengan perhatian dan kasih sayang
Perlahan tumbuh, meninggi, dan hampir berbunga
Namun waktu telah lama menimbunnya
ikatan yang kupunya terasa melonggar
Setiap hari aku melihat menu yang sama
juga warna yang tak ada beda
Tanpa kusadari aku terjerat dalam kubangan bosan
Otakku penuh
Batinku sesak
Aku butuh berjalan ke luar
Mungkin sudah berapa halte aku singgahi
Aku mencari pelangi
Aku butuh adrenalin
Tiba-tiba ….
langkah-langkah masa silam menuntuku
pada sebuah oase…
Aku seperti menghirup udara yang lain
Mencium wangi yang yang tak sama
Aku seperti terjun dalam ekstase
Namun…
dalam mabukku bukan berarti aku lupa semua
Sarangku adalah segalanya
Bahkan aku tak pernah bisa lama meninggalkannya
Aku selalu merindukan bila jauh darinya
Karena akulah raja
Dan….itu adalah kerajaanku!
Lari
Kutinggalkan pagar yang putih
Biara yang suci
Aku berlari merasakan
hujan yang jatuh dari langit
Bermain dalam kubangan lumpur
Tertusuk-tusuk ilalang dan duri
Kulitku gesang terbakar matahari
Kini aku merasakan semuanya
Apa yang dulu kubaca dan hanya
kupandangi dari balik jendela
Apa yang kucari?
Aku hanya mengikuti kata hati
Dan mendengar genta semesta
yang lirih berbunyi
Apakah ini intuisi atau ilusi?
Aku tak peduli.
Jawaban
Terjerat dalam bimbang di sore yang mendung
Duduk di cafe dengan segelas ice honey limonade
Memandang kaca dengan pikiran melayang
Ada pinta yang terus mendesak
Membuat goyah.
Hujan mengguyur jalan
Belum juga berani memutuskan
Tak henti jua mengejar
Akhirnya meluncur juga kata yang dia tunggu.
Seperti kerbau dicocok hidung mengikutinya
Menyusuri jalan dan tempat yang sama.
Gelegak dan suara asing yang muncul dalam diri
Seperti air hujan yang mengguyur padang
Bak duri ilalang yang menusuk telapak kaki di batuan
Berjalan berteman bulan
Sering diam dan tergugu
Masih juga berjarak
Bahkan merasa hanya jadi hiburan
Mencari damai dan tenang…
Terguncang.
Di depan perapian kita berkumpul
Dentang jam telah berbunyi dua kali
Tapi kantuk tak juga datang
Cerita makin memanjang
Sampai pada doorpriza ka-be-er-i
Terbang berdua ke Paris
Jantung tiba-tiba berhenti
Terbayang tubuh terkapar
di rel kereta api
Bunyi peluit panjang makin kencang
Seirama denyut hati yang terguncang.
Gelap makin membungkus malam
Apa bedanya tangis dan salju yang turun
di negeri dingin seperti itu
Sementara ia tengah bernyanyi
riang di pelukan sinar bulan
Tak peduli telah berapa banyak
musim berganti
Bentuk kejujuran apa lagi
yang sempat terkuak
Seekor burung hinggap
di ranting kayu
Kereta angin berdiri sendiri
di belakang flat yang sepi
Tak seorang pun menyadari
kesamaan yang tengah terjadi.
Lara
Ketulusan
Jalinan harapan
membentang seluas samudra
Sejumput kenangan
terus membayang
Gelisah jadi denyut nadi
Hari pun terus berlari
Berita dan naluri dibutatuli
Ketika tiba harinya
Sampai juga langkah ke sana
Langit tak pernah bermatahari
Dahan kering merunduk beku
Flat kita saling bersebrangan
Lewat sungai dan jalan trem kereta api
Malam tak berbintang
Udara menyergap
Dingin tak tertahankan
Di balik kaca berembun
Kubaca nama jalan
yang amat kukenal
Sepi
Gelap
yang kutangkap
Nyata sudah
di sini, di sana
tak ada beda
lalu buat apa perjalanan menyebrang samudra
Bila hanya ada letih dan nelangsa?