Puisi-Puisi Firmiani MELACAK JEJAK Kumpulan Puisi Tujuh Sembilan
FIRMIANI
Firmiani telah berpulang ke Rahmatullah. Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini meninggal dunia pada 8 Juli 2002 di Jakarta. Selepas kuliah, ia bekerja di sebuah majalah nasional di Jakarta. Selain berpusi, Firmi – begitu panggilannya – adalah pemain gitar yang piawai,
Rumah Kering Effatha
Terdampar di pokok-pokok rawan
Rumah kering Effatha
“Siapa yang menyampaikan dusta ini
Kamu?
Ranting-ranting burung-burung semua diam
Menyimpan rahasia di kalbunya masing-masing
Sebenarnya tak ada yang dapat menyembunyikan sebuah kereta
Dengan dua ekor domba penghela
Yang melintas di padang sanubari maha luas
Akan selalu meninggalkan setiap depa bayangnya
“Katakan ya kekasih, anginkah yang
lahirkan dusta ini dari rahimnya?”
Hari ini helai daun terakhir telah gugur
Jatuh ke bumi menimpa mimpinya sendiri terdampar
Pokok-pokok rawan tanah kering Effatha
Makin banyak tahun-tahun menepi
Jakarta 22 September 1984
Apa Yang Kau Rasakan
Apa yang kau rasakan
ketika malam
menutup lembah tempat kita istirah
hanya separuh sinar bulan
dan unggun mulai redup
Angin membawa sebaris germimis
dan membasahi mereka yang lelap
Bumi kuyup
Jajaran cemara mengabut
dingin mengeras memutih tulang
Apa yang kau rasakan
ketika alam kuasa
mengubah kita jadi bayangan
Jakarta 20 November 1984
Sebuah Suara
Sebuah suara lembut mengalun pagi
Membangunkan rumput lelap tertidur
Tanah memerah gairah
Tumbuhlah subur atasku
Langitpun membukakan pintunya lebar-lebar
Agar surya dapat turun menerobos sela hari
Dan membagikan terangnya
Pada setiap sudut yang gelap
tak ada lagi rahasia
bagi burung terbang laying
(dan sementara itu
Sebuah suara tetap setia pada paginya)
Jakarta 8 November 1984
Kisah Sebatang Pohon
Sebatang pohon terasing tumbang
Akarnya mongering
Sepi daun
Seorang pendatang yang lewat di situ
Mencoba menegakkannya kembali
Atas tanah itu juga
Dan ajaib
seketika akarnya berair kembali
tumbuh kuat mencengkeram bumi
seketika daunnya kembali rindang
Jakarta 12 Desember 1984
Hari Ketujuh
Hari ketujuh seperti telah dijanjikan
Ruh melayang sendiri penuh rahasia
Seorang penjaga berdiri di ujung jalan
Memukulkan batu
Memukulkan batu
Pada sebatang tiang listrik hitam
“Siapa semalam lewat di sini?”
Jakartya 11 September 1984
Sentuhlah Mimpiku
Sentuhlah mimpiku
Dengan kelembutan jari-jari kecilmu
Semoga darinya menjelma satu
Kehidupan hakiki
Yang dapat kita hayati bersama
Jakarta 23 September 1984
Kenangan Itu
Kenangan itu bagaikan mata puisiku
Yang mengancam dari waktu ke waktu
Dan selalu siap menikam mangsanya
Dari belakang
Tanpa permisi
Jakarta 19 Oktober 1984